BAB X
KENAVIGASIAN
Bagian Kesatu
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
Pasal 172
1. Pemerintah bertanggung
jawab untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sesuai dengan perkembangan teknologi.
2. Selain untuk menjaga
keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran dapat pula dipergunakan untuk kepentingan tertentu
lainnya.
3. Penyelenggaraan Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Dalam keadaan
tertentu, pengadaan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai bagian dari
penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh
badan usaha.
5. Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran yang diadakan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diawasi oleh Pemerintah.
6. Badan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib:
a. memelihara dan merawat
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
b. menjamin keandalan
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dengan standar yang telah ditetapkan; dan
c. melaporkan kepada
Menteri tentang pengoperasian Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
Pasal 173
Pengoperasian Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran dilaksanakan oleh petugas yang memenuhi persyaratan
kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.
Pasal 174
Setiap orang dilarang merusak atau
melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai, dan danau.
Pasal 175
1. Pemilik dan/atau
operator kapal bertanggung jawab pada setiap kerusakan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran dan hambatan di laut, sungai, dan danau yang disebabkan oleh
pengoperasian kapalnya.
2. Tanggung jawab Pemilik
dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban
untuk segera memperbaiki atau mengganti sehingga fasilitas tersebut dapat
berfungsi kembali seperti semula.
3. Perbaikan dan
penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60
(enam puluh) hari kalender sejak kerusakan terjadi.
Pasal 176
1. Kapal yang berlayar di
perairan Indonesia dikenai biaya pemanfaatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2. Biaya pemanfaatan
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran tidak dikenakan bagi kapal negara dan kapal
tertentu.
Pasal 177
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Telekomunikasi-Pelayaran
Pasal 178
1. Pemerintah wajib
menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan
Telekomunikasi-Pelayaran sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi.
2. Penyelenggaraan sistem
Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pengadaan
Telekomunikasi-Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
4. Telekomunikasi-Pelayaran
yang diadakan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diawasi oleh
Pemerintah.
5. Badan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
a. memelihara dan merawat
Telekomunikasi-Pelayaran;
b. menjamin keandalan
Telekomunikasi-Pelayaran dengan standar yang telah ditetapkan; dan
c. melaporkan kepada
Menteri tentang pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran.
Pasal 179
Pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran
dilaksanakan oleh petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan
keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.
Pasal 180
Setiap orang dilarang merusak atau
melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya
Telekomunikasi-Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai, dan
danau.
Pasal 181
1. Pemilik dan/atau
operator kapal bertanggung jawab pada setiap kerusakan Telekomunikasi-Pelayaran
dan hambatan di laut, sungai dan danau yang disebabkan oleh pengoperasian
kapalnya.
2. Tanggung jawab pemilik
dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban
untuk segera memperbaiki atau mengganti sehingga fasilitas tersebut dapat
berfungsi kembali seperti semula.
3. Perbaikan dan
penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60
(enam puluh) hari kalender sejak kerusakan terjadi.
Pasal 182
1. Kapal yang berlayar di
perairan Indonesia dikenai biaya pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran yang
merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2. Biaya pemanfaatan
Telekomunikasi-Pelayaran dikenakan bagi seluruh kapal.
Pasal 183
1. Pemerintah wajib
memberikan pelayanan komunikasi marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan
serta siaran tanda waktu standar.
2. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelayanan komunikasi marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan
serta siaran tanda waktu standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 184
Ketentuan lebih lanjut tentang
penyelenggaraan Telekomunikasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Hidrografi dan Meteorologi
Pasal 185
Pemerintah melaksanakan survei dan
pemetaan hidrografi untuk pemutakhiran data pada buku petunjuk-pelayaran, peta
laut, dan peta alur-pelayaran sungai dan danau.
Pasal 186
1. Pemerintah wajib
memberikan pelayanan meteorologi meliputi antara lain:
a. pemberian informasi
mengenai keadaan cuaca dan laut serta prakiraannya;
b. kalibrasi dan sertifikasi
perlengkapan pengamatan cuaca di kapal; dan
c. bimbingan teknis
pengamatan cuaca di laut kepada Awak Kapal tertentu untuk menunjang masukan
data meteorologi.
2. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelayanan meteorologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Alur dan Perlintasan
Pasal 187
1. Alur dan perlintasan
terdiri atas:
a. alur-pelayaran di
laut; dan
b. alur-pelayaran sungai
dan danau.
2. Alur-pelayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam peta laut dan buku
petunjuk-pelayaran serta diumumkan oleh instansi yang berwenang.
3. Pada alur-pelayaran
sungai dan danau ditetapkan kriteria klasifikasi alur.
4. Penetapan kriteria
klasifikasi alur-pelayaran sungai dan danau dilakukan dengan memperhatikan
saran dan pertimbangan teknis dari Menteri yang terkait.
Pasal 188
1. Penyelenggaraan
alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.
2. Badan usaha dapat
diikutsertakan dalam sebagian penyelenggaraan alur-pelayaran.
3. Untuk penyelenggaraan
alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib:
a. menetapkan
alur-pelayaran;
b. menetapkan sistem
rute;
c. menetapkan tata cara
berlalu lintas; dan
d. menetapkan daerah
labuh kapal sesuai dengan kepentingannya.
Pasal 189
1. Untuk membangun dan
memelihara alur-pelayaran dan kepentingan lainnya dilakukan pekerjaan
pengerukan dengan memenuhi persyaratan teknis.
2. Persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keselamatan berlayar;
b. kelestarian
lingkungan;
c. tata ruang perairan;
dan
d. tata pengairan untuk
pekerjaan di sungai dan danau.
Pasal 190
1. Untuk kepentingan
keselamatan dan kelancaran berlayar pada perairan tertentu, Pemerintah
menetapkan sistem rute yang meliputi:
a. skema pemisah lalu
lintas di laut;
b. rute dua arah;
c. garis haluan yang dianjurkan;
d. rute air dalam;
e. daerah yang harus
dihindari;
f. daerah lalu lintas
pedalaman; dan
g. daerah kewaspadaan.
2. Penetapan sistem rute
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. kondisi
alur-pelayaran; dan
b. pertimbangan kepadatan
lalu lintas.
3. Sistem rute
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam peta laut dan buku
petunjuk-pelayaran dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 191
Tata cara berlalu lintas di perairan
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 192
Setiap alur-pelayaran wajib dilengkapi
dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran.
Pasal 193
1. Selama berlayar
Nakhoda wajib mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan:
a. tata cara berlalu
lintas;
b. alur-pelayaran;
c. sistem rute;
d. daerah-pelayaran lalu
lintas kapal; dan
e. Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran.
2. Nakhoda yang berlayar
di perairan Indonesia pada wilayah tertentu wajib melaporkan semua informasi
melalui Stasiun Radio Pantai (SROP) terdekat.
Pasal 194
1. Pemerintah menetapkan
Alur Laut Kepulauan Indonesia dan tata cara penggunaannya untuk perlintasan
yang sifatnya terus menerus, langsung, dan secepatnya bagi kapal asing yang
melalui perairan Indonesia.
2. Penetapan Alur Laut
Kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan:
a. ketahanan nasional;
b. keselamatan berlayar;
c. eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam;
d. jaringan kabel dan
pipa dasar laut;
e. konservasi sumber daya
alam dan lingkungan;
f. rute yang biasanya digunakan
untuk pelayaran internasional;
g. tata ruang laut; dan
h. rekomendasi organisasi
internasional yang berwenang.
3. Semua kapal asing yang
menggunakan Alur Laut Kepulauan Indonesia dalam pelayarannya tidak boleh
menyimpang kecuali dalam keadaan darurat.
4. Pemerintah mengawasi
lalu lintas kapal asing yang melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia.
5. Pemerintah menetapkan
lokasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran untuk
melakukan pemantauan terhadap lalu lintas kapal asing yang melalui Alur Laut
Kepulauan Indonesia.
Pasal 195
Untuk kepentingan keselamatan berlayar
di perairan Indonesia:
a.
1. Pemerintah harus
menetapkan dan mengumumkan zona keamanan dan zona keselamatan pada setiap
lokasi kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan berlayar;
2. setiap membangun,
memindahkan, dan/atau membongkar bangunan atau instalasi harus memenuhi
persyaratan keselamatan dan mendapatkan izin dari Pemerintah;
3. setiap bangunan atau
instalasi dimaksud dalam huruf b, yang sudah tidak digunakan wajib dibongkar
oleh pemilik bangunan atau instalasi;
4. pembongkaran
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dilaksanakan dengan ketentuan yang berlaku
dan dilaporkan kepada Pemerintah untuk diumumkan; dan
5. pemilik atau operator
yang akan mendirikan bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c
wajib memberikan jaminan.
Pasal 196
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara dan persyaratan penetapan alur dan perlintasan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pengerukan dan Reklamasi
1. Untuk kepentingan keselamatan
dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan
kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib mendapat izin Pemerintah.
2. Pekerjaan pengerukan
alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan
yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang
diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut
mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan
reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keenam
Pemanduan
Pasal 198
1. Untuk kepentingan
keselamatan dan keamanan berlayar, serta kelancaran berlalu lintas di perairan
dan pelabuhan, Pemerintah menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib
pandu dan perairan pandu luar biasa.
2. Setiap kapal yang
berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa menggunakan jasa
pemanduan.
3. Penyelenggaraan
pemanduan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan
dan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang memenuhi persyaratan.
4. Penyelenggaraan
pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipungut biaya.
5. Dalam hal Pemerintah
belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar
biasa, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada
pengelola terminal khusus yang memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari
Pemerintah.
6. Biaya pemanduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebaskan bagi:
a. kapal perang; dan
b. kapal negara yang
digunakan untuk tugas pemerintahan.
Pasal 199
1. Petugas Pandu wajib
memenuhi persyaratan kesehatan, keterampilan, serta pendidikan dan pelatihan
yang dibuktikan dengan sertifikat.
2. Petugas Pandu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugasnya berdasarkan pada
standar keselamatan dan keamanan pelayaran.
3. Pemanduan terhadap
kapal tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab Nakhoda.
Pasal 200
Pengelola terminal khusus atau Badan
Usaha Pelabuhan yang mengelola dan mengoperasikan pemanduan, wajib membayar
persentase dari pendapatan yang berasal dari jasa pemanduan kepada Pemerintah
sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 201
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penetapan perairan pandu, persyaratan dan kualifikasi petugas pandu, serta
penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Kerangka Kapal
Pasal 202
1. Pemilik kapal dan/atau
Nakhoda wajib melaporkan kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia
kepada instansi yang berwenang.
2. Kerangka kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang posisinya mengganggu keselamatan
berlayar, harus diberi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai tanda dan
diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 203
1. Pemilik kapal wajib
menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan
keamanan pelayaran paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak
kapal tenggelam.
2. Pemerintah wajib
mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari
kerangka kapal dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu
yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab dan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pemilik kapal yang
lalai melaksanakan kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan
pelayaran, wajib membayar ganti kerugian kepada pihak yang mengalami
kecelakaan.
4. Pemerintah wajib
mengangkat dan menguasai kerangka kapal dan/atau muatannya yang tidak diketahui
pemiliknya dalam batas waktu yang telah ditentukan.
5. Untuk menjamin
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pemillik kapal wajib
mengasuransikan kapalnya.
6. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan persyaratan pengangkatan kerangka kapal dan/atau
muatannya diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Salvage dan Pekerjaan Bawah Air
Pasal 204
1. Kegiatan salvage dilakukan
terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau
tenggelam.
2. Setiap kegiatan
salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin dan memenuhi persyaratan
teknis keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri.
Pasal 205
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara dan persyaratan salvage dan pekerjaan bawah air diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif
Pasal 206
1. Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (6), Pasal 178
ayat (5), Pasal 193 ayat (2), Pasal 198 ayat (2), atau Pasal 200 dikenakan
sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin atau
pembekuan sertifikat; atau
c. pencabutan izin atau
pencabutan sertifikat.
2. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.