• Jelajahi

    Copyright © Hukum Maritim
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    UNDANG UNDANG NO 17 TAHUN 2008 BAB V ANGKUTAN DI PERAIRAN

    Senin, 27 Maret 2023, 04:53 WIB Last Updated 2023-03-27T08:01:12Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    BAB V

    ANGKUTAN DI PERAIRAN

    Bagian Kesatu
    Jenis Angkutan di Perairan

    Pasal 6

    Jenis angkutan di perairan terdiri atas:

    a.     angkutan laut;

    b.    angkutan sungai dan danau; dan

    c.      angkutan penyeberangan.

    Bagian Kedua
    Angkutan Laut

    Paragraf 1
    Jenis Angkutan Laut

    Pasal 7

    Angkutan laut terdiri atas:

    a.     angkutan laut dalam negeri;

    b.    angkutan laut luar negeri;

    c.      angkutan laut khusus; dan

    d.    angkutan laut pelayaran-rakyat.

    Paragraf 2
    Angkutan Laut Dalam Negeri

    Pasal 8

    1.     Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

    2.     Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.

    Pasal 9

    1.     Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intra-maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

    2.     Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).

    3.     Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek.

    4.     Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri disusun dengan memperhatikan:

    a.     pengembangan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata;

    b.    pengembangan wilayah dan/atau daerah;

    c.      rencana umum tata ruang;

    d.    keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi; dan

    e.     perwujudan Wawasan Nusantara.

    5.     Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa angkutan laut.

    6.     Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.

    7.     Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan:

    a.     kelaiklautan kapal;

    b.    menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh warga negara Indonesia;

    c.      keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan;

    d.    kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan

    e.     tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.

    8.     Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah.

    Pasal 10

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Paragraf 3
    Angkutan Laut Luar Negeri

    Pasal 11

    1.     Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.

    2.     Kegiatan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    3.     Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk angkutan laut lintas batas dapat dilakukan dengan trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur.

    4.     Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.

    5.     Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia.

    Pasal 12

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut luar negeri, keagenan umum, dan perwakilan perusahaan angkutan laut asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Paragraf 4
    Angkutan Laut Khusus

    Pasal 13

    1.     Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

    2.     Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin operasi dari Pemerintah.

    3.     Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan kondisi dan persyaratan kapal sesuai dengan jenis kegiatan usaha pokoknya.

    4.     Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau barang umum kecuali dalam hal keadaan tertentu berdasarkan izin Pemerintah.

    5.     Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:

    a.     tidak tersedianya kapal; dan

    b.    belum adanya perusahaan angkutan yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan yang ada.

    6.     Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagai agen umum.

    7.     Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus hanya dapat menjadi agen bagi kapal yang melakukan kegiatan yang sejenis dengan usaha pokoknya.

    Pasal 14

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Paragraf 5
    Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat

    Pasal 5

    1.     Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagai usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan mempunyai peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.

    2.     Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

    Pasal 16

    1.     Pembinaan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

    2.     Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk:

    a.     meningkatkan pelayanan ke daerah pedalamna dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;

    b.    meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan

    c.      meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut nasional.

    3.     Armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan di dalam negeri dan lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur.

    Pasal 17

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Ketiga
    Angkutan Sungai dan Danau

    Pasal 18

    1.     Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

    2.     Kegiatan angkutan sungai dan danau antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang bersangkutan.

    3.     Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara dua negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.

    4.     Kegiatan angkutan sungai dan danau disusun dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan intra-dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

    5.     Kegiatan angkutan sungai dan danau dapat dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau trayek tidak tetap dan tidak teratur.

    6.     Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan di laut kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.

    Pasal 19

    1.     Untuk menunjang usaha pokok dapat dilakukan kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.

    2.     Kegiatan angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan izin Pemerintah.

    Pasal 20

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan sungai dan danau diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Keempat
    Angkutan Penyeberangan

    Pasal 21

    1.     Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

    2.     Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara yang bersangkutan.

    3.     Angkutan penyeberangan yang dilakukan antara dua negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.

    Pasal 22

    1.     Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.

    2.     Penetapan lintas angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

    a.     pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan;

    b.    fungsi sebagai jembatan;

    c.      hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan dan terminal, dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu;

    d.    tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya;

    e.     Rencana Tata Ruang Wilayah; dan

    f.       jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intramoda.

    3.     Angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur.

    Pasal 23

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kelima
    Angkutan di Perairan untuk Daerah masih Tertinggal
    dan/atau Wilayah Terpencil

    Pasal 24

    1.     Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil wajib dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

    2.     Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran-perintis dan penugasan.

    3.     Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

    4.     Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik.

    5.     Pelayaran-perintis dan penugasan dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.

    6.     Angkutan perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dievaluasi oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah setiap tahun.

    Pasal 25

    Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dilakukan dengan cara kontrak jangka panjang dengan perusahaan angkutan di perairan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang diawaki oleh warga negara Indonesia.

    Pasal 26

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayaran-perintis dan penugasan pada angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Keenam
    Perizinan Angkutan

    Pasal 27

    Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha wajib memiliki izin usaha.

    Pasal 28

    1.     Izin usaha angkutan laut diberikan oleh:

    a.     bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;

    b.    gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau

    c.      Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional.

    2.     Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan oleh:

    a.     bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau

    b.    gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional.

    3.     Izin usaha angkutan sungai dan danau diberikan oleh:

    a.     bupati/walikota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha; atau

    b.    Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

    4.     Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memiliki izin trayek yang diberikan oleh:

    a.     bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota;

    b.    gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau

    c.      Menteri bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara.

    5.     Izin usaha angkutan penyeberangan diberikan oleh:

    a.     bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha; atau

    b.    Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

    6.     Selain memilik izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal yang diberikan oleh:

    a.     bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;

    b.    gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan

    c.      Menteri bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara.

    Pasal 29

    1.     Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).

    2.     Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.

    Pasal 30

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Ketujuh
    Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan

    Pasal 31

    1.     Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan.

    2.     Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    a.     bongkar muat barang;

    b.    jasa pengurusan transportasi;

    c.      angkutan perairan pelabuhan;

    d.    penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;

    e.     tally mandiri;

    f.       depo peti kemas;

    g.     pengelolaan kapal (ship management);

    h.    perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker);

    i.        keagenan Awak Kapal (ship manning agency);

    j.        keagenan kapal; dan

    k.     perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).

    Pasal 32

    1.     Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk itu.

    2.     Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan bongkar muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikannya.

    3.     Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.

    4.     Kegiatan tally yang bukan tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa pengurusan transportasi, terbatas hanya untuk kegiatan cargodoringreceiving/deliverystuffing, dan stripping peti kemas bagi kepentingannya sendiri.

    Pasal 33

    Setiap badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib memiliki izin usaha.

    Pasal 34

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kedelapan
    Tarif Angkutan dan Usaha Jasa Terkait

    Pasal 35

    1.     Tarif angkutan di perairan terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang.

    2.     Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah.

    3.     Tarif angkutan penumpang nonekonomi ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan.

    4.     Tarif angkutan barang ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

    Pasal 36

    Tarif usaha jasa terkait ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa terkait sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

    Pasal 37

    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan dan usaha jasa terkait diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kesembilan
    Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut

    Paragraf 1
    Wajib Angkut

    Pasal 38

    1.     Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.

    2.     Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang dan dokumen muatan.

    3.     Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional.

    Pasal 39

    Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib angkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Paragraf 2
    Tanggung Jawab Pengangkut

    Pasal 40

    1.     Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

    2.     Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

    Pasal 41

    1.     Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:

    a.     kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;

    b.    musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;

    c.      keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau

    d.    kerugian pihak ketiga.

    2.     Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

    3.     Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 42

    1.     Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.

    2.     Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

    Pasal 43

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Paragraf 3
    Pengangkutan Barang Khusus dan Barang Berbahaya

    Pasal 44

    Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 45

    1.     Barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat berupa:

    a.     kayu gelondongan (logs);

    b.    barang curah;

    c.      rel; dan

    d.    ternak.

    2.     Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berbentuk:

    a.     bahan cair;

    b.    bahan padat; dan

    c.      bahan gas.

    3.     Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diklasifikasikan sebagai berikut:

    a.     bahan atau barang peledak (explosives);

    b.    gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gasesliquified or dissolved under pressure);

    c.      cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);

    d.    bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar (flammable solids);

    e.     bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);

    f.       bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);

    g.     bahan atau barang radioaktif (radioactive material);

    h.    bahan atau barang perusak (corrosive substances); dan

    i.        berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).

    Pasal 46

    Pengangkutan barang berbahaya dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 wajib memenuhi persyaratan:

    a.     pengemasan, penumpukan, dan penyimpanan di pelabuhan, penanganan bongkar muat, serta penumpukan dan penyimpanan selama berada di kapal;

    b.    keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik nasional maupun internasional bagi kapal khusus pengangkut barang berbahaya; dan

    c.      pemberian tanda tertentu sesuai dengan barang berbahaya yang diangkut.

    Pasal 47

    Pemilik, operator, dan/atau agen perusahaan angkutan laut yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar sebelum kapal pengangkut barang khusus dan/atau barang berbahaya tiba di pelabuhan.

    Pasal 48

    Badan Usaha Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan barang berbahaya dan barang khusus untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang berbahaya dan barang khusus di pelabuhan.

    Pasal 49

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kesepuluh
    Angkutan Multimoda

    Pasal 50

    1.     Angkutan perairan dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.

    2.     Kegiatan angkutan perairan dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dilaksanakan antara penyedia jasa angkutan perairan dan badan usaha angkutan multimoda dan penyedia jasa moda lainnya.

    Pasal 51

    1.     Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin khusus untuk melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah.

    2.     Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang.

    Pasal 52

    Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan berdasarkan 1 (satu) dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan multimoda.

    Pasal 53

    1.     Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.

    2.     Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal penyedia jasa angkutan multimoda dapat membuktikan bahwa dirinya atau agennya secara layak telah melaksanakan segala tindakan untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang.

    3.     Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.

    Pasal 54

    Penyedia jasa angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

    Pasal 55

    Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kesebelas
    Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional

    Pasal 56

    Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.

    Pasal 57

    1.     Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:

    a.     memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;

    b.    memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal; dan

    c.      memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan.

    2.     Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:

    a.     menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu;

    b.    mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan industri kapal nasional;

    c.      mengembangkan standardisasi dan komponen kapal dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan melakukan alih teknologi;

    d.    mengembangkan industri bahan baku dan komponen kapal;

    e.     memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal dari luar negeri;

    f.       membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;

    g.     membangun kapal yang pendanaannya berasal dari luar negeri dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan alih teknologi; dan

    h.    memelihara dan mereparasi kapal pada industri perkapalan nasional yang biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

    Pasal 58

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri angkutan perairan dan perkuatan industri perkapalan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kedua belas
    Sanksi Administratif

    Pasal 59

    1.     Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (8), Pasal 28 ayat (4) atau ayat (6), atau Pasal 33 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:

    a.     peringatan;

    b.    denda administratif;

    c.      pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau

    d.    pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.

    2.     Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (4) atau Pasal 13 ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa tidak diberikan pelayanan jasa kepelabuhanan.

    3.     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    BAB VI

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini